Pendidikan Kewarganegaraan Pembentukan Karakter Bangsa dengan Pancasila
Dosen Pengampu: Sri Waluyo
Disusun
oleh:
Prayoga fahlul hidayat (24317733)
Kelas : 2TB04
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
Assalamu’alaikum
Wr.Wb.
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa. Atas segala rahmat dan petunjuk-Nya sehingga makalah ini dapat saya
selesaikan tepat pada waktunya.
Adanya pembuatan makalah ini bertujuan agar siswa dan siswi
dapat mengetahui serta memahami matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Selama beberapa hari ini saya
berusaha untuk menyelesaikan makalah walaupun banyak masalah yang saya alami,
namun pada akhirnya saya dapat menyelesaikannya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang
membutuhkan. Terlepas dari semua itu, Saya
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah
Pendidikan Kewarganegaraan ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Depok,
25 Maret 2019
Prayoga
F Hidayat
DAFTAR ISI
Table of Contents
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai
falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia?
Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan
bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat
istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain
tetapi mutlak harus dipersatukan. (Mardoto, 2009)
Eksistensi
suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimilikinya. Hanya bangsa
yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang
bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi
bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua. (Mardoto, 2009)
|
Keinginan
menjadi bangsa yang berkarakter sesunggungnya sudah lama tertanam pada bangsa
Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, "...mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Para pendiri negara menyadari
bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa
lain. (Mardoto, 2009)
|
Meski
pendidikan karakter sudah sangat lama dicanangkan oleh pemerintah, mulai dari
Ir. Soekarno dengan Nation Building dan Soeharto melalui program P4, pada
masa reformasi keinginan membangun karakter bangsa terus berkobar bersamaan
dengan munculnya euforia politik sebagai dialektika runtuhnya rezim orde.
Keinginan menjadi bangsa yang demokratis, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), menghargai dan taat hukum adalah beberapa karakter bangsa
yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, kenyataan yang ada justru menunjukkan fenomena yang sebaliknya.
Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan kekerasan dan kerusuhan
muncul di mana-mana, diiringi mengentalnya semangat kedaerahan dan
primordialisme yang bisa mengancam instegrasi bangsa; praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme tidak semakin surut malahan semakin berkembang; demokrasi penuh
etika yang didambakan berubah menjadi demokrasi yang kebablasan dan menjurus
pada anarkisme; kesantuan sosial dan politik semakin memudar pada berbagai
tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; kecerdasan
kehidupan bangsa yang dimanatkan para pendiri negara semain tidak tampak,
semuanya itu menunjukkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa. (Sirnagalih,
2009)
|
Secara
historis dan sosio-kultural pembangunan bangsa dan pembangunan karakter
(nation and character building) merupakan komitmen nasional yang telah lama
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia. Namun demikian, ternyata dalam praksis politik pembangunan dan
pendidikan keajegan perhatian terhadap pembangunan karakter bangsa belum
terjaga dengan baik, sehingga hasilnya belum optimal. Fenomena keseharian
menunjukkan perilaku masyarakat belum sejalan dengan karakter bangsa yang
dijiwai oleh Falsafah Pancasila. (Sirnagalih, 2009)
|
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan pancasila
2.
Bagaimana
jati diri, karakter dan kepribadian bangsa Indonesia saat ini?
3.
Apa
saja manifestasi krisis karakter di Indonesia?
4.
Bagaimana
membentuk karakter bangsa lewat pendidikan?
5.
Apa
manfaat pendidikan pancasila dalam membangun karakter bangsa?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
2. Untuk mengetahui kaitan antara Pendidikan Pancasila dengan pembentukan karakter bangsa
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
2. Untuk mengetahui kaitan antara Pendidikan Pancasila dengan pembentukan karakter bangsa
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Pancasila
Pada hakekatnya pendidikan pancasila adalah upaya sadar diri
suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup
dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara
secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan
dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari
depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika
budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasionalnya. Berdasarkan UU no. 20
tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “pendidikan
Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945”. (Sirnagalih, 2009)
2.2 Jati Diri, Karakter dan Kepribadian
Jati diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara
budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa
sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak
lahir (gift), serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas
kepribadian seseorang. (Segara, 2011)
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality,
moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus
Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata
‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai
pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’
adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian,
pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat
atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang
positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter. (Segara, 2011)
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter. (Segara, 2011)
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis)
seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu
mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat
bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal
seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai
lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran
kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya. (Segara, 2011)
Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter dan
kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut:
(Segara,
2011)
2.3 Beberapa
Manifestasi Krisis Karakter di Indonesia
Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa
Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna
mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang
terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan
untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah
bangsa lain di dunia (Gebe, 2009)
Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena
sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan
masyarakat luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan
kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah
beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial. (Gebe, 2009)
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial. (Gebe, 2009)
Kesenangan merusak diri sendiri di samping korupsi,
memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’
dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak
merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of self
distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya
untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia sebagian dari kita
malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk mencabik-cabik dirinya
sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan membiarkannya. Memecahkan
perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara
sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar
SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak
diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang
mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai,
dalam kebhinekaan. (Gebe, 2009)
Hipokrisi atau Kemunafikan, di atas telah disampaikan bahwa
Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi
di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat
yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang
Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius,
dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan
haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama.
Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang merasa riligius namun
negaranya penuh korupsi. Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah
seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama.
Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal
ini adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping
sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti
kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik
namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya. (Segara, 2011)
Mentalitas makan siang gratis. Berkembangnya mentalitas
‘makan siang gratis’, adalah fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter.
Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara
mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan
menuntut kekiri dan kekanan. (Segara, 2011)
Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan
kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat
kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering
mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan
lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari
penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru,
konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan
minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang
lain: ’Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus
tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah
penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF
dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar
kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan,
karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang
bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang
lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.
(Segara,2011)
2.4 Membetuk Karakter Bangsa lewat Pendidikan
2.4 Membetuk Karakter Bangsa lewat Pendidikan
Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk
karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat
potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa
depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi
bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan
seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu
mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core
values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di
bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor
kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor kelaikan tenaga
pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan.
Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan
karakter nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan
jati diri bangsa (Syahrial, 2006: 43).
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik
sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak
didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan
apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi
menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti
afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi
pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari,
karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di
bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa
toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti
ini dapat mengembalikan jati diri bangsa? (Syahrial, 2006:49)
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas
pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari
institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan
ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi
untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan
mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan
generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang
nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi
ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya
ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek
pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar
untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk
menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama
(learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa
ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi
seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu,
akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat,
hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa
dengan ilmu yang mereka punya. (Mardoto, 2009)
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan
karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah
usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang
baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak faktor
atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam masalah ini akan
dilihat peran empat media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: (1)keluarga,
(2)media masa, (3)lingkungan sosial, (4)pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan (Mardoto, 2009)
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan (Mardoto, 2009)
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis
pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di
Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya
pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan
pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga.
Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat
sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak
menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung
tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu
nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin
bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih
generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke
generasi berikutnya. (Mardoto, 2009)
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan
telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar
dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau
bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya
adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan
radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh
para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro,
melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui
tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan
semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam
keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada
saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri
bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya
kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan
dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita
temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin
canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung
teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa.
Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi,
sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun
sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk
daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik
justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk
menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di
rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi
Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup
jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung
menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap
’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa
membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara
televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di
sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di
sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru
’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang
tua dan oleh para guru di sekolah. (Mardoto, 2009)
Pendidikan formal. Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter.
Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan
bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara
pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi dalam hal ini.
Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya
menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya.
Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan
pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan pengembangan
jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau
mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di
sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan
daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan
’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada
perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya
’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan
orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik. (Mardoto, 2009)
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek
pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan
juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan
sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang
secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut
teknologi, dan yang lainnya. (Mardoto, 2009).
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan
cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan.
Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan
menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang
dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan. Masalah kita sekarang,
tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan program-program yang
dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak
lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal
sebagai wahana untuk pendidikan.
2.5 Manfaat Pendidikan Pancasila dalam Membangun Karakter Bangsa
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai
falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia?
Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan
bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat
istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain
tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut: (Syahnakri, 2009)
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut: (Syahnakri, 2009)
Kelompok1
Yaitu manusia yang berkesadaran rendah, dimana segala perilakunya hanya mementingkan diri sendiri, dirinya selalu dikuasai oleh nafsu atau perilaku hewani dan iblis. Mereka tidak bisa bekerja berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba keakuan atau berorientasi kepada kepuasan dirinya.
Kelompok 2
Yaitu manusia yang sudah meningkat kualitas dirinya dari kualitas manusia rendah kepada manusia yang manusiawi. Sifat dari orang yang sudah manusiawi ini pada setiap pekerjaan berorientasi ke luar, tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan berorientasi kepada masyarakat atau dunia sekelilingnya. Manusia yang manusiawi ini, berwujud manusia, berpikir manusia, berhati manusia, berucap manusia, berpandangan manusia, dan berbuat manusia. Mereka telah dapat menyelaraskan antara pikiran, ucapan, suara hatinya, dan perbuatannya di dalam segala tindakannya.
Yaitu manusia yang berkesadaran rendah, dimana segala perilakunya hanya mementingkan diri sendiri, dirinya selalu dikuasai oleh nafsu atau perilaku hewani dan iblis. Mereka tidak bisa bekerja berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba keakuan atau berorientasi kepada kepuasan dirinya.
Kelompok 2
Yaitu manusia yang sudah meningkat kualitas dirinya dari kualitas manusia rendah kepada manusia yang manusiawi. Sifat dari orang yang sudah manusiawi ini pada setiap pekerjaan berorientasi ke luar, tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan berorientasi kepada masyarakat atau dunia sekelilingnya. Manusia yang manusiawi ini, berwujud manusia, berpikir manusia, berhati manusia, berucap manusia, berpandangan manusia, dan berbuat manusia. Mereka telah dapat menyelaraskan antara pikiran, ucapan, suara hatinya, dan perbuatannya di dalam segala tindakannya.
Kelompok 3
Yaitu manusia yang berkesadaran ketuhanan. Manusia yang berada kelompok ini adalah kelompok eksklusif atau kelompok yang langka, di mana kesadaran mereka sudah sampai pada peleburan dengan kesadaran Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan, pandangannya sudah tidak mengandung dualisme lagi mereka telah menyatu dengan Yang Maha Kuasa. Mereka telah mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia yang sempurna.
Yaitu manusia yang berkesadaran ketuhanan. Manusia yang berada kelompok ini adalah kelompok eksklusif atau kelompok yang langka, di mana kesadaran mereka sudah sampai pada peleburan dengan kesadaran Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan, pandangannya sudah tidak mengandung dualisme lagi mereka telah menyatu dengan Yang Maha Kuasa. Mereka telah mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia yang sempurna.
Dari
tiga kelompok kesadaran manusia ini dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan
sila pertama Pancasila, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya
manusia Indonesia secara ideal harus mencapai tingkatan manusia yang sempurna,
manusia yang dapat meleburkan dirinya dengan Tuhan di dalam kehidupannya
sekarang di dunia, atau dengan kata lain Insan Kamil.
Dalam rangka mewujudkan manusia yang sempurna ini harus
melalui jalan yang terjal, jalan ini memang benar-benar ada bukan semata-mata
hanya khayalan saja. Ada nama atau sebutannya pasti ada wujudnya, dan ada
manusia yang sudah pernah mencapainya. Siapa mereka ? Mereka merupakan manusia
yang suci yang kalau di Islam biasa disebut Wali Yullah, atau dalam agama lain
disebut Budha atau Dewa dan lain sebagainya. (Syahnakri, 2009)
Sebelum mencapainya kita terlebih dahulu harus mengetahui
karakter manusia yang berkesadaran rendah atau binatang. Pada manusia yang
berkesadaran rendah setiap kualitas kerjanya akan berorientasi kepada
kepentingan pribadi dan egonya, mereka itu selalu dikuasai oleh segala sesuatu
yang ada di muka bumi atau segala sesuatu dari hasil kerjanya. Mereka tidak
bisa memerdekakan dirinya dari segala perbudakan, mereka adalah tipe budak,
mereka egois, serakah, tamak, jahil, jahat, berpikiran sempit dan lain-lain. Segala
perbuatannya berorientasi keuntungan untuk diri sendiri. Tidak ada kesadaran
akan ketuhanan, yang ada kelekatan akan segala sesuatu (Syahnakri, 2009).
Karena begitu liarnya sifat kebinatangan dan keiblisan di
dalam dirinya maka mereka itu sangat memerlukan suatu koridor hukum agar mereka
dapat tertib dan terkendali. Yang harus ditertibkan yaitu sifat atau perilaku
liarnya. Ajaran agama dan hukum-hukum yang lainnya sangat diperlukan untuk
pengendalian diri. Gunanya agar sifat liar tersebut menjadi tertib. Kalau sudah
tertib sifat liarnya maka mereka akan mudah mengendalikan diri dan dapat
mengoptimalkan kemampuan dirinya, dan mereka dapat meningkat ke tingkat
kesadaran yang lebih tinggi yaitu manusia yang manusiawi. (Syahnakri, 2009)
Yang tercantum sebagai sila pertama Pancasila ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan agama. Jika agama dicantumkan sebagai sila
pertama, pasti keadaan menjadi kacau karena banyak penganut agama dan penganut
kepercayaan yang menjadi ribut menginginkan agama atau kepercayaannya dijadikan
sebagai landasannya sehingga menimbulkan pandangan yang sempit. Akibatnya,
kekacauan terjadi di mana-mana dan tidak ada kesatuan.
Semua agama di mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari sekian banyak agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan kepercayaan yang ada (Hinu, 2007)
Semua agama di mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari sekian banyak agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan kepercayaan yang ada (Hinu, 2007)
Semua agama baik dan benar jika para penganutnya dapat meningkatkan
kesadarannya dari manusia yang berkesadaran rendah, naik menjadi manusia yang
manusiawi atau kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat "Kesadaran
Ketuhanan". Apabila manusia meyakini suatu ajaran agama, tetapi ternyata
mereka tidak meningkat kesadarannya malahan mereka tetap berada dalam kesadaran
rendah, bahkan lebih rendah lagi maka yang salah bukan ajaran agamanya,
melainkan para penganutnya yang salah kaprah atau salah dalam pemahamannya
sehingga tidak ada perubahan kebaikan dalam kehidupannya, mereka itu merupakan
manusia yang sesat.
Pada kondisi saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis, mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya oleh orang lain (Hinu, 2007)
Pada kondisi saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis, mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya oleh orang lain (Hinu, 2007)
Zaman dahulu orang jahiliyah berperilaku kejam dan sadis
karena belum ada agama yang masuk ke dalam dirinya. Sekarang meskipun agama
masuk dan sudah ribuan tahun usia agama, kualitas dirinya bukannya lebih baik
melainkan sebaliknya lebih jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa
setiap penganut agama memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan
agar mereka mendapatkan pencerahan dari apa yang mereka anut (Hinu, 2007).
Terlalu panjangnya rentang waktu antara kita dan penyebar
agama menjadikan pandangan terhadap agama pun berubah. Untuk menghindari agar
ajaran agama tidak menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang sempurna. Apakah
ada ? Ya, pasti ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaan mereka
bila hati kita buta, dan kita masih tertidur lelap dalam kebodohan dan
ketidaksadaran. Biarpun mereka ada di depan kita, kita tidak dapat
mengetahuinya, kecuali kalau kita sudah terbangun dari kesadaran rendah, hati
yang buta dapat melihat kembali. Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan
pembimbing sempurna tadi di dalam hidupnya.
Mengapa dalam sila pertama Pancasila harus berketuhanan dulu
? Tanpa ketuhanan semua menjadi mati tidak hidup karena Tuhan merupakan hidup
itu sendiri ! Sekarang orang beragama tanpa ketuhanan maka agamanya menjadi
mati tidak berjiwa, dan mereka akan berubah menyembah agama bukan menyembah
Tuhan, atau primodial sempit. Kalau semua pemeluk agama sudah menyadari tentang
ketuhanan masing-masing, tidak ada lagi pertentangan karena pertentangan itu hanya
ada di kelompok bawah atau kesadaran rendah, dalam tataran kelompok
"Kesadaran Ilahi" sudah tidak ada pertentangan dalam segala
sesuatunya. Dengan Sila Ketuhanan sebagai sila pertama maka tidak ada lagi
pertentangan antara satu dengan yang lain mengenai Tuhan yang melingkupi
seluruh alam semesta ini.
Kalau sudah banyak jumlah penduduk Indonesia yang sudah
ber-ketuhanan dalam tataran manusia yang manusiawi maka Pancasila sudah bisa
menjadi pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan Indonesia sudah masuk dalam
keadaan pencerahan dan kemakmuran.
Kalau kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Kalau kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Pada saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu
pengetahuan di dunia telah maju pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh
sekali dari kondisi manusia yang sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi
robot-robot hidup yang penuh dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh
penemuan manusia itu sendiri, tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan
yang dibutuhkan dan diinginkan oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu
arah hidupnya, mereka menjadi budak-budak konsumsi dari apa yang mereka
ciptakan sendiri, yang akhirnya hati mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan
apa yang mereka ciptakan, mereka terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya)
mereka. Mereka tidak mempergunakan kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu
menggunakan otak kiri, otak kanan dan bawah sadar, serta kekuatan hati nurani
(Hinu, 2007)
Karena kebimbangan serta stress yang berkepanjangan, mereka
tidak dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu dihubungkan dan
dilekatkan dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya menjadi melekat
dan memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara selama-lamanya.
Oleh karena, itu kita harus berani merubah tatanan yang
sudah mapan dalam kegelapan dan kebodohan ini. Bangun dan sadar dari apa yang
mereka sadari, bangkitkan kemampuan mereka, cukup dengan satu orang yang sudah
sampai ke dalam kesadaran ketuhanan, dia dapat menggunakan kekuatannya untuk
membangunkan manusia yang terlena dalam kegelapan.
Jadi, sila pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta harus diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta menjadi mercu suar dunia.
Jadi, sila pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta harus diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta menjadi mercu suar dunia.
Untuk menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta sila kelima
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat dilakukan jika
manusia Indonesia meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia yang manusiawi.
Jika manusia Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila tersebut tidak
dapat di jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah dengan sendirinya
mereka masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat rendah lainnya, tidak mungkin
memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya sendiri saja.
Hanya manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat
melaksanakan sila-sila Pancasila dengan sebenar-benarnya. Inilah yang
terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia, sebagai
azas yang melandasi segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat Indonesia yang moderen.
Pancasila diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat Indonesia yang moderen.
Secara kreatif dan dinamis, Pancasila mampu memadukan antara
aspirasi masa depan, menyelesaikan masa kini dan memberi harga pada masa lalu.
Perjalanan sejarah membuktikan Pancasila mampu memberikan dasar yang kokoh bagi
kesatuan dan persatuan bangsa
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan Pancasila sangat bermanfaat
dalam membangun karakter bangsa karena dengan mempelajari pendidikan pancasila
dapat menimbulkan kesadaran dalam diri manusia itu sendiri, karena sesungguhnya
pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus
dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga
harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka
bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia),
bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
3.2 Saran
Dalam membangun karakter bangsa sebaiknya dengan menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa dapat mengamalkannya maka akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta akan di dapati Negara yang aman dan sejahtera.
DAFTAR RUJUKAN
Gebe, G. 2009. Membangun
Karakter Dan Memperkuat Identitas Nasional Indonesia. (Online)
(http://gebe.blogdetik.com/membangun-karakter-dan-memperkuat-identitas-nasional-indonesia/#more-44,
31 Desember 2009) diakses 3 November 2014
Hinu, R. 2007. Pendidikan
Membangun Karakter. (Online)
(http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Pendidikan-Membangun-Karakter---Gede-Raka-p9632706.html
, 31 Desember 2009) diakses 5 November 2014
Mardoto. M. 2009. Urgensi
pendidikan kewarganegaraan. (Online)
(http://mardoto.wordpress.com/2009/03/06/seri-002-mahasiswa-urgensi-pendidikan-kewarganegaraan-menurut-saya/,
31 Desember 2009) diakses 5 November 2014
Sirnagalih, D. 2009. Pancasila Adalah Jati Diri Bangsa. (online), (http://id.sirnagalih.org/artikel/artikel-dari-guru/83-pancasila-adalah-jati-diri-bangsa-.html, 31 desember 2009) diakses 3 November 2014
Syahnakri, A. 2009. Renungan Kebangsaan Dan Pancasila. (online) (http://syahnakri.blogspot.com/2009/11/renungan-kebangsaan-dan-pancasila.html, 31 Desember 2009) diakses 3 November 2014
Syahrial S. 2006. Membangun karakter
dan Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: University Press.
Komentar
Posting Komentar