kesenian reog ponorogo



WAWASAN NUSANTARA
KESENIAN REOG PONOROGO
Hasil gambar untuk logo gunadarma


Dosen Pengampu: Sri Waluyo



          Disusun oleh:

Prayoga fahlul hidayat         (24317733)

      Kelas : 2TB04




FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA














KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah “Makalah Tentang Reog Ponorogo Sebagai Warisan Budaya Indonesia. Selain sebagai tugas, makalah yang penulis buat ini bertujuan memberi informasi kepada para pembaca tentang “Bagaimana Latar Belakang Kesenian Reog Ponorogo”
          Pembuatan penyusunan makalah dengan materi “Seni Budaya dan Kepariwisataan” diharapkan dapat memberikan manfaat dan wawasan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa dan juga para pembaca untuk lebih memahami materi mengenai latar belakang kesenian reog ponorogo sebagai warisan budaya indonesia.
          Penulis berharap agar makalah ini  berguna bagi para pembaca, agar lebih meningkatkan pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kesenian-kesenian yang ada di indonesia. Dan penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan agar di masa yang akan datang bisa lebih baik lagi. 







BOGOR,19  APRIL 2019


Penyusun














DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ........... 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ...........3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... ...........1
1.1  Latar Belakang  ............................................................................................. ...........4
1.2  Rumusan Masalah ......................................................................................... ...........4
1.3  Tujuan Penulisan ........................................................................................... ...........5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ ...........6
2.1 Sejarah Reog Ponorogo....................................................................................... ...........6
2.1.1 Asal Mula reog ponorogo........................................................................... ...........7
2.1.2 Pementasan Reog Ponorogo....................................................................... ...........9
2.2 Nilai-nilai aksiologi yang terungkap dalam kesenian reog ponorogo............................10
2.3 Relevansi nilai-nilai kesenian reog ponorogo dengan pembangunan karakter..............13
BAB III PENUTUP  ............................................................................................... ..........17
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA












BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Semua kehidupan manusia dan masing-masing manusia memiliki struktur eksistensi yaitu kepercayaan, filsafat, ilmu, dan seni. Keempat aspek tersebut saling berinteraksi dan saling melengkapi menjadi satu sistem yang utuh. Hal ini menunjukkan bahwa semua manusia selalu menyisihkan sebagian waktunya untuk memenuhi kepuasan batinnya melalui berbagai ungkapan baik kepercayaan, filsafat, ilmu maupun seni. Seni secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu seni rupa dan seni pertunjukan. Seni dari aspek ragamnya terbagi menjadi tiga cabang  seni, yaitu seni musik, seni tari, dan seni teater. Seni juga memiliki tiga fungsi utama, yaitu seni sebagai sarana ritual, seni sebagai sarana hiburan, dan seni sebagai sarana penyajian estetis.
Terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang dilanda krisis multidimensi, seperti merebaknya korupsi, kejahatan, kekerasan, derasnya budaya asing yang cenderung merusak, dan lunturnya rasa nasionalisme. Hal tersebut dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa, sehingga memperlihatkan karakter masyarakat dan bangsa melemah dan memprihatinkan.
Upaya yang harus dilakukan adalah memperkuat ketahanan kebudayaan nasional maupun daerah melalui penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya, salah satunya adalah kesenian reog Ponorogo. Kesenian reog Ponorogo adalah sebuah seni-budaya kedaerahan yang memiliki kekhasan dan melegenda. Kesenian reog Ponorogo sebagai kesenian tradisional termasuk salah satu kebudayaan Jawa syarat dengan nilai-nilai adiluhung. Kesenian reog dilahirkan, melegenda, dan menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Kesenian reog sampai saat ini telah berkembang ke seluruh penjuru Nusantara hingga luar negeri.
Terkait dengan kondisi tersebut penulis mencoba menjelaskan bagaimana sejarah kesenian reog ponorogo serta bagaimana peranan reog ponorogo terhadap masyarakat indonesia khususnya pada masyarakat ponorogo. Nilai-nilai kesenian reog dapat direfleksikan untuk membangun karakter bangsa. Pemikiran-pemikiran adiluhung muncul pertama kali saat Bathara Katong membangun masyarakat Ponorogo, dan menjadikan kesenian reog sebagai media mempersatukan masyarakat Ponorogo.
1.2 Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah sejarah dan asal mula kesenian reog ponorogo ?
2.      Bagaimanakah pementasan reog ponorogo dilakukan ?
3.      Apa Nilai-nilai aksiologi yang terungkap dalam kesenian reog ponorogo?
4.      Apa relevansi nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan pembangunan karakter Bangsa?


1.3 Tujuan Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain sebagai berikut;
·         Memberikan pengetahuan tentang sejarah dan asal mula kesenian reog ponorogo
·         Memberikan pengetahuan tentang  pementasan reog ponorogo
·         Memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai aksiologis yang terkandung dalam kesenian reog Ponorogo
·         Memberikan pengetahuan tentang relevansi nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan pembangunan karakter Bangsa















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kesenian Reog Ponorogo
Satu diantara banyak seni tarian di Jawa Timur yang masih terus dilestarikan adalah reog. Seni ini berasal dari bagian barat laut berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, diapit gunung Lawu dan gunung Wilis. Ponorogo didirikan tahun 1486 oleh Raden Katong (bupati I) yang masih keturunan raja Brawijaya V. Ponorogo sebelum diperintah Raden Katong merupakan kademangan Wengker dengan raja Klana Sewandana dan patih Klana Wijaya dikenal sangat sakti. Setelah kerajaan Wengker dikalahkan Airlangga sejarah kerajaan Wengker selesai.
Selang dua ratus tahun berdirilah kademangan Bantarangin didirikan keturunan Klana Wijaya yaitu Ki Ageng Kutu Suryangalam yang dikenal sakti tiada tanding. Ponorogo dianggap sebagai kota asal reog sebenarnya, sehingga disebut dengan Reog Ponorogo. Salah satu budaya Indonesia ini kental dengan hal-hal berbau mistis, sehingga sering diidentikkan dengan dunia hitam, dunia kekuatan supranatural. Permainan seni reog selalu diiringi dengan musik tradisional atau disebut juga dengan gamelan. Peralatan musik yang biasanya digunakan sebagai pengiring reog yaitu gong, terompet, kendang, ketipung, dan angklung. Cerita kesenian reog Ponorogo memiliki beberapa versi.
·         Pertama, Klana Sewandana raja kerajaan Bantarangin melamar putri raja Kediri Dewi Sanggalangit. Salah satu syarat lamaran adalah dibuatkan gamelan model baru dan manusia berkepala harimau. Gamelan tersebut sebagai cikal bakal kesenian reog saat itu disebut gumbung.
·         Kedua, Ki Ageng Kutu sebagai abdi raja Brawijaya V memilih meninggalkan Majapahit, karena Brawijaya V tidak dapat menguasai kerajaan dan lebih dikuasai isterinya. Ki Ageng Kutu di daerah Wengker mendirikan padepokan Surukubeng melatih para muda berlatih ilmu kanuragan dengan permainan barongan. Barongan tersebut sebagai sindiran terhadap Raja Brawijaya V, sehingga Ki Ageng Kutu dianggap memberontak. Brawijaya V sangat sulit menaklukkan Surukubeng, maka diutuslah Raden Katong menaklukkannya dan berhasil. Akhirnya, Raden Katong diserahi tanah perdikan Wengker.
·         Ketiga, sebelum Raden Katong menguasai Wengker, Ki Ageng Kutu menciptakan barongan yang menjadi permainan para warok. Setelah Ki Ageng Kutu dikalahkan Raden Katong, maka Raden Katong memandang perlu melestarikan barongan sebagai media dakwah Islam. Barongan yang dahulu dipunyai para warok sekarang menjadi milik masyarakat Ponorogo dan diganti nama reog. Kata reog berasal dari kata riyokun artinya khusnul khatimah. Maksudnya, perjuangan Raden Katong dan kawan-kawannya diharapkan menjadi perjuangan yang diridhai Tuhan.
2.1.1 Asal Mula Reog Ponorogo
Meski terdapat berbagai versi terkait asal mula reog, tapi cerita yang paling populer dan berkembang di masyarakat adalah cerita tentang pemberontakan seorang abdi kerajaan pada masa kerajaan Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bernama Ki Ageng Kutu Suryonggalan. Bhre Kertabhumi merupakan raja Majapahit yang berkuasa pada abad ke-15.
Raja ini sangat korup dan tidak pernah memenuhi kewajiban layaknya seorang raja, sehingga membuat Ki Ageng Kutu murka kepada sang raja. Apalagi terhadap permaisurinya yang keturunan Cina itu memiliki pengaruh kuat terhadap kerajaan. Bukan hanya itu saja, rekan-rekan permaisurinya yang keturunan Cina mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Ki Ageng Kutu memandang, kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Lalu dia meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda.
Harapannya, anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sukur-sukur bisa melakukan perlawanan terhadap kerajaan. Hanya saja, Ki Ageng Kutu menyadari, bahwa pasukannya terlalu kecil melakukan perlawanan terhadap pasukan kerajaan. Maka dari itu, Ki Ageng Kutu hanya bisa menyampaikan pesan dan sindirian melalui pertunjukan seni Reog. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog. Seni reog digunakan oleh Ki Ageng Kutu sebagai sarana mengumpulkan massa untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan. Hal terpenting adalah sebagai saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu untuk menyindirnya.  Dalam pertunjukannya, ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong". Kemudian topeng berbentuk raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi. Diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya. Jatilan, diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit. Ini menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tokohnya disebut dengan Jathil. Sementara Warok adalah orang yang memiliki tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Meski begitu, kesenian Reog sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning Namun, di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Versi lainnya mengenai asal-usul Reog adalah cerita tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya. Sang Prabu ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia bernama Pujangganong. Sang prabu menemukan pujaan hatinya, ia jatuh hati kepada putri Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit. Putri Kediri ini mau menerima Prabu Kelana asal dengan satu syarat, sang prabu harus bisa menciptakan sebuah kesenian baru. Diciptakanlah kesenian tersebut yang dikenal dengan reog dengan memasukan unsur mistis yang kekuatan spiritual, sehingga memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Namun, perubahan zaman dan perilaku manusia menyebabkan terjadinya pergeseran makna yang terkandung dalam kesenian Reog Ponorogo. Masyarakat Ponorogo saat ini mengganggap kesenian reog merupakan pelengkap dari sebuah acara atau hanya berupa sebuah hiburan saja. Misalnya pementaasan reog dilombakan pada acara-acara tertentu untuk memeriahkan acara tersebut, salah satunya perlombaan dalam festival.

Hasil gambar untuk REOG
REOG PONOROGO DAN JARANAN
2.1.2 Pementasan Reog Ponorogo
 Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian dua sampai tiga tarian pembukaan. Enam sampai delapan pria gagah berani dengan pakaian serba hitam dan muka dipoles warna merah membawakan tarian pertamanya. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Selanjutnya enam sampai delapan gadis yang menaiki kuda melanjutkan tarian reog. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki berpakaian wanita. Biasanya, sebagai tarian pembukanya, beberapa anak kecil membawakan tarian dengan berbagai adegan lucu. Tarian ini disebut Bujang Ganong atau Ganongan. Setelah mereka membawakan tarian pembukaan, ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka mereka menampilkan adegan percintaan. Bila acara khitanan, biasanya cerita pendekar.


Hasil gambar untuk reog bujang ganong





Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang, kadang-kadang dengan penonton. Terkadang bila seorang pemain yang sedang pentas kelelahan dapat digantikan oleh yang lain. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penonton. Adegan terakhir adalah singa barong. Pemain memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topengnya bisa mencapai 50-60 kg. Mereka membawa topeng tersebut dengan giginya. Kemampuan membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.







2.2 Nilai-nilai aksiologi yang terungkap dalam kesenian reog ponorogo
Bicara tentang nilai, dalam dunia filsafat banyak pemikiran tentang nilai. Seperti, Walter G. Everett, Frondizi, Notonagoro, dan sebagainya. Teori nilai yang dipakai dalam penelitian disertasi adalah teori nilai dari Max Scheler yang terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu :
1.      Nilai-nilai kerohanian meliputi : nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai kepercayaan, dan nilai magis.
2.      Nilai-nilai spiritual meliputi : nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni, nilai simbolik, dan nilai superioritas.
3.      Nilai-nilai kehidupan meliputi : nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai kesejahteraan.
4.      Nilai-nilai kesenangan meliputi : nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai material, dan nilai pertunjukan.
Teori nilai Max Scheler ini apabila dipakai untuk membedah kesenian reog Ponorogo, maka akan ditemukan beberapa nilai. Pembedahan tersebut dengan metode hermenetika dan heuristika. Nilai-nilai yang terungkap dalam kesenian reog adalah :
1.      Nilai-nilai keruhanian, meliputi :
a)      Nilai dakwah. Nilai ini terungkap pada gamelan reog yang dipakai sebagai media dakwah saat Bathara Katong menyebarkan Islam ke masyarakat Ponorogo yang masih menganut Hindhu. Gamelan reog yang dahulu disebut gumbung dipakai kerajaan Wengker untuk mengiringi dalam latihan perang. Metode Bathara Katong ini seperti metode dakwah yang dipakai para walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa dengan media wayang purwa.
b)      Nilai kelestarian. Nilai ini terungkap sejak upaya Bathara Katong menaklukkan Ki Ageng Kutu dengan pendekatan kultural. Upaya kelestarian itu hingga sekarang masih dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo sebagai upaya kesinambungan. Upaya tersebut antara lain : buku Babad Ponorogo (jilid 1-VIII) karangan Purwowijoyo dijadikan buku babon sejarah Ponorogo. Menyusun buku Hari Jadi Kota Ponorogo (Bathara Katong Bapak-e Wong Ponorogo). Menyusun buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa. Menyusun buku Ponorogo dari Waktu ke Waktu. Mengadakan ritual budaya, seperti : ziarah ke makam Bathara Katong, Grebeg Suro, festival reog nasional, dan pentas bulan purnama. Kesenian reog Ponorogo dipatenkan : N0. 03195, tanggal 12 April 1995.
c)      Nilai kepercayaan. Nilai ini terungkap pada perlengkapan sesaji yang telah menjadi tradisi apabila pertunjukan reog akan mulai. Tujuan sesaji adalah agar terhindar dari gangguan orang maupun lelembut/ makhluk halus. Sesaji dilakukan di muka barongan dan tempat dhanyang desa.
d)      Nilai kesejarahan. Nilai ini terungkap pada kesenian reog dengan asal-usul berdirinya Ponorogo menyatu dalam tokoh Bathara Katong. Keberadaan kesenian reog dan sejarah Ponorogo tidak terlepaskan dari keberadaan Bathara Katong. Tokoh Bathara Katong dan tokoh-tokoh reog lain (barongan, klana, warok, dan jathil) dijadikan monumen sebagai simbol sejarah Ponorogo. Tokoh-tokoh reog dijadikan monumen diletakkan di berbagai perempatan jalan di kota Ponorogo.
e)       Nilai magis. Nilai ini terungkap pada pemberian unsur daya magis ke dalam kesenian reog khususnya barongan/ pembarong. Unsur magis ini dimaksudkan untuk penambahan daya kekuatan pembarong juga untuk memunculkan daya tarik (aura) bagi group reog.
2.      Nilai-nilai spiritual, meliputi :
a)      Nilai budaya Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memuat nilai-nilai kejawaan yang adiluhung, sebagai tontonan dan tuntunan. Kesenian reog sebagai seni-budaya tradisional khas Ponorogo, sehingga kesenian reog menjadi representasi sekaligus sumber nilai bagi masyarakat Ponorogo.
b)      Nilai keindahan. Nilai ini terungkap pada :  gerak tari (warok, jathil, pujangganong, dan barongan), tata busana (warna hitam, merah, kuning, dan putih), tata rias (utamanya tata rias penari jathil dan ganongan),  aransemen gamelan reog (gendhing kebogiro, gendhing panaragan, gendhing sampak, gendhing patrajayan, gendhing objog).
c)      Nilai moral. Nilai ini terungkap pada : jiwa kebersamaan, pengikat kerukunan dan dapat ngrukunake, mewujudkan kegotong-royongan, ajaran reog : ojo dumeh, ojo gumun, ojo pangling, menghindari mo-limo (minuman keras, main wanita, senang makan, main judi, dan mencuri).
d)      Nilai seni. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog sebagai hasil budaya masyarakat Ponorogo. Kesenian reog sebagai seni panggung/ pentas yang dikembangkan melalui festival tahunan dan arak-arakan.
e)      Nilai simbolik. Nilai ini terungkap bahwa dalam kesenian reog melambangkan Klana Sewandana melamar Dewi Sanggalangit. Dhadhak merak melambangkan sindiran Ki Ageng Kutu terhadap raja Brawijaya V. Tokoh warok melambangkan : bersemangat, keteladanan, pemberani, kokoh-kuat, berwibawa, siap berkorban, dan jiwa ksatria. Tokoh jathil melambangkan prajurit siap ke medan laga. Tokoh barongan melambangkan raja Singobarong dari kerajaan Lodaya.
f)       Nilai superioritas. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog harus memiliki warok yang sakti, dan kepemilikan ilmu kanuragan pada warok (daya linuwih).

3.      Nilai-nilai kehidupan, meliputi :
a)      nilai kepahlawanan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki tokoh pahlawan, seperti tokoh warok. Istilah warok oleh masyarakat Ponorogo diangap sebagai tokoh masyarakat yang memiliki beberapa kelebihan. Kelebihannya seperti memiliki banyak ilmu, memiliki kesaktian/ilmu kanuragan, rela berkorban, pengayom, bekerja tanpa pamrih, dan wira’i.
b)      nilai keadilan. Nilai ini terungkap dalam hakikat yang menjadi tujuan akhir kesenian reog. Kesenian reog (terutama waroknya) mempunyai misi kehidupan. Istilah ‘adil’ artinya tidak memihak atau berat sebelah. Penerapan keadilan dalam bermasyarakat dan berbangsa adalah pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban manusia menurut hakikat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Pemenuhan hak dan kewajiban tersebut ending-nya diharapkan memiliki keseimbangan dan keselarasan hidup baik secara lahiriah maupun batiniah.
c)      nilai kesejahteraan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memuat aspek kesejahteraan dengan istilah : uang jamu, bon-bonan, dan tanggapan. Nilai kesejahteraan ini maknanya kehidupan yang tenteram, makmur, dan aman, tetapi nilai tersebut lebih dominan pada aspek ekonomi. Orientasi aspek ekonomi dalam kesenian reog dahulu dan sekarang berbeda. Sekarang, lebih mengarah pada nilai jual sehingga memunculkan industri kesenian, semuanya itu demi menambah kesejahteraan ‘konco reog’.Gambar terkait
4.      Nilai-nilai kesenangan, meliputi :
a)      Nilai hiburan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki daya tarik tersendiri dibanding dengan kesenian lain, seperti : sorak-sorai, keasyikan,kelucuan, mengagumkan, dan mendebarkan.
b)      Nilai kepuasan. Nilai ini terungkap pada para pemain setelah selesai pertunjukan terasa puas apa yang diperankan. Penonton juga merasakan puas manakala setelah menyaksikan atraksi pentas kesenian reog. Penanggap (reog obyogan) juga merasakan puas dan senang setelah menanggap reog, karena dapat membuat senang orang banyak.
c)      Nilai kompetitif. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memuat kompetitif positif dan negatif. Kompetitif positif manakala kesenian reog (reog pentas) dapat dipertandingkan melalui festival tahunan tingkat nasional dan festival tahunan reog mini. Kompetitif negatif (kompetitif tidak sehat) manakala kesenian reog bersaing dengan menjatuhkan group lain.
d)     Nilai material. Nilai ini terungkap bahwa untuk membuat perlengkapan perangkat kesenian reog membutuhkan berbagai material. Material tersebut meliputi alat-alat kesenian (dhahak merak, seperangkat gamelan, dan kuda eblek), dan pakaian pemain (pembarong, jathil, warok, ganongan, dan pengrawit).
e)      Nilai pertunjukan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki dua jenis pertunjukan, yaitu pertunjukan di panggung (reog pentas) pentas dan pertunjukan bukan dipanggung (reog objogan).
3.1 Relevansi nilai-nilai kesenian reog ponorogo dengan pembangunan karakter
Istilah ‘karakter’ sebagai sistem daya juang meliputi daya dorong, daya gerak, dan daya hidup, dan berisi tata nilai kebajikan moral yang terpatri dalam diri manusia. Jenis karakter manusia ada yang tangguh dan ada yang lemah. Manusia yang berkarakter tangguh akan selalu menyempurnakan diri walau mengadapi tekanan. Manusia yang berkarakter lemah cenderung pasrah (nasib) kondisi diri yang ada. Kondisi bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat lebih memiliki karakter lemah, karena memiliki sifat-sifat meremehkan mutu, etos kerja buruk, tidak punya malu, suka menerobos, tidak percaya diri, dan tidak disiplin. Masalahnya sekarang, bagaimana agar manusia-manusia Indonesia memiliki karakter tangguh. Menanggulangi permasalahan tersebut tidaklah mudah bagi bangsa Indonesia. Di era reformasi muncul berbagai krisis, seperti : krisis ekonomi, merebaknya korupsi, kekerasan, pornografi, dan radikalisme, sehingga berakibat melemahnya karakter bangsa. Penanggulangannya adalah penguatan terhadap ‘Empat Pilar’ (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) berbangsa-bernegara, nilai kebangsaan, dan nilai patriotisme.
Apakah seni tradisional reog Ponorogo dapat dipakai sebagai upaya membangun karakter bangsa. Pendalamannya, bahwa nilai kebangsaan dan nilai patriotisme dalam kesenian reog dapat direfleksikan ke arah pembangunan karakter bangsa. Upaya kultivasi senibudaya dalam perspektif yang lebih luas. Meningkatkan fungsi ekspresif dan fungsi instrumental terhadap nilai-nilai kesenian reog. Hal ini sejalan dengan keberadaan seni tradisional harus dilihat dari fungsi ekspresif dan instrumental.
Fungsi ekspresif menunjukkan bahwa kesenian reog dengan peran utamanya terkait dengan kedudukan sosialnya. Fungsi instrumental menunjukkan bahwa kesenian reog dapat dijadikan media penyampaian pesan hal-hal yang terkait dengan pembangunan nasional. Sejajalan dengan kondisi bangsa, nilai-nilai kesenian reog dapat memberikan kontribusi terhadap penegakan empat pilar berbangsa dan bernegara melalui nilai patriotisme yang terungkap dalam diri warok. Penguatan ‘Empat Pilar’ terungkap dalam kesesuaian antara nilainilai kesenian reog Ponorogo dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu :
a)      Nilai kepercayaan berkesesuaian dengan nilai Ketuhanan.
b)      Nilai kepribadian berkesesuaian dengan nilai Kemanusiaan.
c)      Nilai hiburan dan pertunjukan berkesesuaian dengan nilai Persatuan.
d)     Nilai sosial (rukun) berkesesuaian dengan nilai Kerakyatan.
e)      Nilai kesejarahan dan kelestarian berkesesuaian dengan nilai keadilan.
Tokoh warok yang menjadi agul-agule wong Ponorogo (kebanggaan masyarakat Ponorogo) dalam kesenian reog berperan sebagai tokoh sentral. Tokoh warok dianggap sebagai manusia berkualitas menurut pemikiran masyarakat Ponorogo. Di setiap barisan kesenian reog apabila sedang berjalan, maka tokoh warok menempati posisi depan seperti komandan barisan perang dan terlihat menyeramkan. Sehingga, tokoh warok harus memiliki kesaktian, ketangguhan, dan berwibawa. Tokoh warok merupakan tokoh utama dan sentral dalam kesenian reog dan masyarakat Ponorogo. Kaitannya dengan nilai-nilai kesenian reog apabila direfleksikan sesuai sifat-sifat tokoh-tokoh reog (warok, klana, jathil, dan barongan) muncul lima kebajikan esensial, yaitu :
a)      Refleksi nilai kepahlawanan upaya membangun karakter bangsa (sifat pengorbanan). Sifat yang utama seorang pahlawan adalah bersedia mengorbankan baik jiwa dan raganya tanpa mengharap balas jasa. Seorang pahlawan lebih mendahulukan kewajiban dari pada menuntut apa yang menjadi haknya.
b)      Refleksi nilai kewiraan membangun karakter bangsa (sifat pemberani dan pantang menyerah). Sifat yang utama selain pengorbanan adalah pemberani dan pantang menyerah. Berani mengambil resiko apa yang dilakukan dan pantang menyerah dalam meraih cita-cita perjuangannya.
c)      Refleksi nilai superioritas upaya membangun karakter bangsa (sifat daya linuwih). Sifat yang utama selain bersemangat, rela berkorban, pemberani, dan pantang menyerah adalah memiliki daya-linuwih. Daya-linuwih diartikan sebagai sifat yang dimiliki seorang yang mengungguli sifat-sifat manusia kebanyakan.
d)     Refleksi nilai kepribadian upaya membangun karakter bangsa (sifat keperkasaan/ tangguh). Sifat yang utama selain berkorban, pemberani, pantang menyerah dan memiliki daya-linuwih adalah ketangguhan. Sifat tangguh memiliki pemahaman tangguh fisik dan non-fisik (tangguh mental).
e)      Refleksi nilai moral upaya membangun karakter bangsa (sifat keteladanan/ perekat). Sifat yang utama selain pemberani, pantang menyerah, memiliki daya-linuwih, dan tangguh juga sebagai pahlawan juga dapat memberikan keteladanan terhadap masyarakat.
Upaya membangun karakter bangsa yang sedang melemah saat ini harus memiliki landasan yang juga terungkap dalam nilai-nilai kesenian reog. Nilai-nilai tersebut apabila ditranformasikan dalam diri pahlawan akan muncul spirit-spirit yang akan menetes kepada siapa saja yang memiliki kemampuan menangkap nilai-nilai kesenian reog. Spirit-spirit tersebut akan merefleksi (meresap) dalam diri setiap orang sehingga mengakibatkan semangat menyala-nyala. Semangat yang menyala-nyala terungkap dalam ujud lahir maupun batin para pemain dan tetabuhannya.











BAB III
PENUTUP
 KESIMPULAN
       I.            Kesenian reog Ponorogo memiliki sejarah panjang, melegenda, dan menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Sejarah panjang kesenian reog dan perkembangannya dimulai dari kerajaan Wengker hingga sekarang. Kesenian reog dikatakan melegenda, karena kesenian reog sangat erat kaitannya dengan tokoh legendaris Bahtara Katong sebagai Bapak-e Wong Ponorogo. Sejarah panjang kesenian reog berhasil melewati pasang-surut perjalanan waktu mulai kerajaan Wengker, kerajaan Bantarangin, zaman Bathara Katong, zaman penjajahan Belanda dan Jepang, zaman setelah kemerdekaan/ orde lama, zaman orde baru, dan zaman reformasi. Karakter senibudaya kesenian reog memiliki kesamaan karakter masyarakat Ponorogo, sehingga dengan kesamaan karakter tersebut masyarakat Ponorogo mampu memelihara, mempertahankan, dan melestarikannya.
    II.            Cerita kesenian reog Ponorogo memiliki beberapa versi. Pertama, Klana Sewandana raja kerajaan Bantarangin melamar putri raja Kediri Dewi Sanggalangit. Salah satu syarat lamaran adalah dibuatkan gamelan model baru dan manusia berkepala harimau. Gamelan tersebut sebagai cikal bakal kesenian reog saat itu disebut gumbung. Kedua, Ki Ageng Kutu sebagai abdi raja Brawijaya V memilih meninggalkan Majapahit, karena Brawijaya V tidak dapat menguasai kerajaan dan lebih dikuasai isterinya. Ki Ageng Kutu di daerah Wengker mendirikan padepokan Surukubeng melatih para muda berlatih ilmu kanuragan dengan permainan barongan. Barongan tersebut sebagai sindiran terhadap Raja Brawijaya V, sehingga Ki Ageng Kutu dianggap memberontak. Brawijaya V sangat sulit menaklukkan Surukubeng, maka diutuslah Raden Katong menaklukkannya dan berhasil. Akhirnya, Raden Katong diserahi tanah perdikan Wengker. Ketiga, sebelum Raden Katong menguasai Wengker, Ki Ageng Kutu menciptakan barongan yang menjadi permainan para warok. Setelah Ki Ageng Kutu dikalahkan Raden Katong, maka Raden Katong memandang perlu melestarikan barongan sebagai media dakwah Islam. Barongan yang dahulu dipunyai para warok sekarang menjadi milik masyarakat Ponorogo dan diganti nama reog. Kata reog berasal dari kata riyokun artinya khusnul khatimah. Maksudnya, perjuangan Raden Katong dan kawan-kawannya diharapkan menjadi perjuangan yang diridhai Tuhan.
 III.            Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian dua sampai tiga tarian pembukaan. Pada tarian pembuka dilakukan oleh 6-8 orang penari laki-laki, kemudian dilanjutkan oleh 6-8 orang penari perempuan, dan yang terahir dibawakan oleh singa barong. Peralatan musik yang digunakan yaitu : gong, terompet, kendang, ketipung, dan angklung.
 IV.            Nilai-nilai kesenian reog Ponorogo apabila dilihat dari konsep nilai Max Scheler, meliputi : a. Nilai-nilai keruhanian yaitu memuat unsur-unsur batiniah seperti penjiwaan pada setiap pemain reog (meliputi : nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai kepercayaan, dan nilai magis). b. Nilai spiritual yaitu memuat hal-hal yang melahirkan gairah dan getaran jiwa (meliputi : nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni, nilai simbolik, dan nilai superioritas). c. Nilai kehidupan yaitu memuat unsur-unsur lahiriah yang berkaitan dengan keperluan hidup keseharian (meliputi : nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai kesejahteraan). d. Nilai kesenangan yaitu memuat unsur-unsur pada pembiasan hidup positif (meliputi : nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai material, dan nilai pertunjukan).
    V.            Kondisi bangsa saat yang sedang dilanda berbagai masalah, seperti merebaknya korupsi, terorisme, krisis moralitas, kekerasan, dan berbagai ideologi yang kurang sesuai dengan Pancasila. Kondisi demikian akan melemahkan karakter bangsa, apabila dibiarkan bangsa Indonesia akan terjerumus ke dalam bangsa tuna-budaya dan tuna moral. Penanggulangannya, upaya menguatan nilai-nilai kebajikan esensial seperti yang terungkap dalam siprit-spirit yang terungkap dalam kesenian reog.
 VI.            Nilai kesenian reog Ponorogo khususnya nilai warok dapat ditransformasikan dalam upaya membangun karakter bangsa. Nilai warok tersebut adalah ketangguhan, pemberani, pantang menyerah, dan patriotik.





DAFTAR PUSTAKA
·         http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/865/reog-ponorogo#photo[gallery]/1/      diakses pada tanggal 20 mei 2015
·         Kesenian, Identitas, Hak cipta; kasus pencurian reog ponorogo.pdf (oleh Lisa clare mapson)
·         Reog Ponorogo; Menari diantara dominasi dan keragaman/fauzanafi,muhamad zamzam, KEPEL: 2005
·         Reog Ponorogo; untuk perguruan tinggi/Hartono, Depdikbud:1980


Komentar

Postingan Populer