kesenian reog ponorogo
WAWASAN NUSANTARA
KESENIAN REOG PONOROGO
Dosen Pengampu: Sri Waluyo
Disusun
oleh:
Prayoga
fahlul hidayat (24317733)
Kelas : 2TB04
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur, kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah “Makalah Tentang Reog Ponorogo Sebagai
Warisan Budaya Indonesia. Selain sebagai tugas, makalah yang penulis buat ini
bertujuan memberi informasi kepada para pembaca tentang “Bagaimana Latar
Belakang Kesenian Reog Ponorogo”
Pembuatan penyusunan makalah dengan materi “Seni Budaya dan Kepariwisataan”
diharapkan dapat memberikan manfaat dan wawasan pengetahuan bagi rekan-rekan
mahasiswa dan juga para pembaca untuk lebih memahami materi mengenai latar
belakang kesenian reog ponorogo sebagai warisan budaya indonesia.
Penulis
berharap agar makalah ini berguna bagi para pembaca, agar lebih
meningkatkan pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kesenian-kesenian
yang ada di indonesia. Dan penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
terdapat banyak kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis butuhkan agar di masa yang akan datang bisa lebih baik
lagi.
BOGOR,19 APRIL 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ...........
2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ...........3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... ...........1
1.1 Latar
Belakang ............................................................................................. ...........4
1.2 Rumusan
Masalah ......................................................................................... ...........4
1.3 Tujuan
Penulisan ........................................................................................... ...........5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ ...........6
2.1
Sejarah Reog Ponorogo....................................................................................... ...........6
2.1.1 Asal Mula reog ponorogo........................................................................... ...........7
2.1.2 Pementasan Reog Ponorogo....................................................................... ...........9
2.1.1 Asal Mula reog ponorogo........................................................................... ...........7
2.1.2 Pementasan Reog Ponorogo....................................................................... ...........9
2.2 Nilai-nilai aksiologi yang terungkap
dalam kesenian reog ponorogo............................10
2.3 Relevansi nilai-nilai kesenian reog ponorogo dengan pembangunan karakter..............13
2.3 Relevansi nilai-nilai kesenian reog ponorogo dengan pembangunan karakter..............13
BAB
III PENUTUP ............................................................................................... ..........17
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Semua
kehidupan manusia dan masing-masing manusia memiliki struktur eksistensi yaitu
kepercayaan, filsafat, ilmu, dan seni. Keempat aspek tersebut saling berinteraksi
dan saling melengkapi menjadi satu sistem yang utuh. Hal ini menunjukkan bahwa
semua manusia selalu menyisihkan sebagian waktunya untuk memenuhi kepuasan
batinnya melalui berbagai ungkapan baik kepercayaan, filsafat, ilmu maupun
seni. Seni secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu seni rupa dan
seni pertunjukan. Seni dari aspek ragamnya terbagi menjadi tiga cabang seni, yaitu seni musik, seni tari, dan seni
teater. Seni juga memiliki tiga fungsi utama, yaitu seni sebagai sarana ritual,
seni sebagai sarana hiburan, dan seni sebagai sarana penyajian estetis.
Terkait
dengan kondisi bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang dilanda krisis
multidimensi, seperti merebaknya korupsi, kejahatan, kekerasan, derasnya budaya
asing yang cenderung merusak, dan lunturnya rasa nasionalisme. Hal tersebut
dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa, sehingga memperlihatkan karakter masyarakat
dan bangsa melemah dan memprihatinkan.
Upaya
yang harus dilakukan adalah memperkuat ketahanan kebudayaan nasional maupun
daerah melalui penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya, salah satunya
adalah kesenian reog Ponorogo. Kesenian reog Ponorogo adalah sebuah seni-budaya
kedaerahan yang memiliki kekhasan dan melegenda. Kesenian reog Ponorogo sebagai
kesenian tradisional termasuk salah satu kebudayaan Jawa syarat dengan nilai-nilai
adiluhung. Kesenian reog dilahirkan, melegenda, dan menjadi kebanggaan
masyarakat Ponorogo. Kesenian reog sampai saat ini telah berkembang ke seluruh
penjuru Nusantara hingga luar negeri.
Terkait
dengan kondisi tersebut penulis mencoba menjelaskan bagaimana sejarah kesenian
reog ponorogo serta bagaimana peranan reog ponorogo terhadap masyarakat
indonesia khususnya pada masyarakat ponorogo. Nilai-nilai kesenian reog dapat direfleksikan
untuk membangun karakter bangsa. Pemikiran-pemikiran adiluhung muncul pertama
kali saat Bathara Katong membangun masyarakat Ponorogo, dan menjadikan kesenian
reog sebagai media mempersatukan masyarakat Ponorogo.
1.2 Rumusan
masalah
1. Bagaimanakah
sejarah dan asal mula kesenian reog ponorogo ?
2. Bagaimanakah
pementasan reog ponorogo dilakukan ?
3. Apa
Nilai-nilai aksiologi yang terungkap dalam kesenian reog
ponorogo?
4. Apa
relevansi nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan pembangunan karakter Bangsa?
1.3
Tujuan Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat
memberikan manfaat, antara lain sebagai berikut;
·
Memberikan pengetahuan
tentang sejarah dan asal mula kesenian reog ponorogo
·
Memberikan pengetahuan
tentang pementasan reog ponorogo
·
Memberikan pengetahuan
tentang nilai-nilai aksiologis yang terkandung dalam kesenian reog Ponorogo
·
Memberikan pengetahuan
tentang relevansi nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan pembangunan
karakter Bangsa
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kesenian
Reog Ponorogo
Satu diantara banyak seni tarian di Jawa Timur yang masih terus
dilestarikan adalah reog. Seni ini berasal dari bagian barat laut berbatasan dengan
Provinsi Jawa Tengah, diapit gunung Lawu dan gunung Wilis. Ponorogo didirikan
tahun 1486 oleh Raden Katong (bupati I) yang masih keturunan raja Brawijaya V.
Ponorogo sebelum diperintah Raden Katong merupakan kademangan Wengker dengan
raja Klana Sewandana dan patih Klana Wijaya dikenal sangat sakti. Setelah
kerajaan Wengker dikalahkan Airlangga sejarah kerajaan Wengker selesai.
Selang dua ratus tahun berdirilah kademangan Bantarangin didirikan
keturunan Klana Wijaya yaitu Ki Ageng Kutu Suryangalam yang dikenal sakti tiada
tanding. Ponorogo dianggap sebagai kota asal reog sebenarnya, sehingga disebut
dengan Reog Ponorogo. Salah satu budaya Indonesia ini kental dengan hal-hal
berbau mistis, sehingga sering diidentikkan dengan dunia hitam, dunia kekuatan
supranatural. Permainan seni reog selalu diiringi dengan musik tradisional atau
disebut juga dengan gamelan. Peralatan musik yang biasanya digunakan sebagai
pengiring reog yaitu gong, terompet, kendang, ketipung, dan angklung. Cerita
kesenian reog Ponorogo memiliki beberapa versi.
·
Pertama, Klana
Sewandana raja kerajaan Bantarangin melamar putri raja Kediri Dewi
Sanggalangit. Salah satu syarat lamaran adalah dibuatkan gamelan model baru dan
manusia berkepala harimau. Gamelan tersebut sebagai cikal bakal kesenian reog
saat itu disebut gumbung.
·
Kedua, Ki Ageng Kutu
sebagai abdi raja Brawijaya V memilih meninggalkan Majapahit, karena Brawijaya
V tidak dapat menguasai kerajaan dan lebih dikuasai isterinya. Ki Ageng Kutu di
daerah Wengker mendirikan padepokan Surukubeng melatih para muda berlatih ilmu
kanuragan dengan permainan barongan. Barongan tersebut sebagai sindiran
terhadap Raja Brawijaya V, sehingga Ki Ageng Kutu dianggap memberontak.
Brawijaya V sangat sulit menaklukkan Surukubeng, maka diutuslah Raden Katong
menaklukkannya dan berhasil. Akhirnya, Raden Katong diserahi tanah perdikan
Wengker.
·
Ketiga, sebelum Raden
Katong menguasai Wengker, Ki Ageng Kutu menciptakan barongan yang menjadi
permainan para warok. Setelah Ki Ageng Kutu dikalahkan Raden Katong, maka Raden
Katong memandang perlu melestarikan barongan sebagai media dakwah Islam.
Barongan yang dahulu dipunyai para warok sekarang menjadi milik masyarakat
Ponorogo dan diganti nama reog. Kata reog berasal dari kata riyokun artinya
khusnul khatimah. Maksudnya, perjuangan Raden Katong dan kawan-kawannya
diharapkan menjadi perjuangan yang diridhai Tuhan.
2.1.1 Asal Mula Reog Ponorogo
Meski terdapat berbagai versi terkait asal mula reog, tapi cerita yang
paling populer dan berkembang di masyarakat adalah cerita tentang pemberontakan
seorang abdi kerajaan pada masa kerajaan Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi
yang bernama Ki Ageng Kutu Suryonggalan. Bhre Kertabhumi merupakan raja
Majapahit yang berkuasa pada abad ke-15.
Raja ini sangat korup dan tidak pernah memenuhi kewajiban layaknya seorang raja, sehingga membuat Ki Ageng Kutu murka kepada sang raja. Apalagi terhadap permaisurinya yang keturunan Cina itu memiliki pengaruh kuat terhadap kerajaan. Bukan hanya itu saja, rekan-rekan permaisurinya yang keturunan Cina mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Ki Ageng Kutu memandang, kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Lalu dia meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda.
Raja ini sangat korup dan tidak pernah memenuhi kewajiban layaknya seorang raja, sehingga membuat Ki Ageng Kutu murka kepada sang raja. Apalagi terhadap permaisurinya yang keturunan Cina itu memiliki pengaruh kuat terhadap kerajaan. Bukan hanya itu saja, rekan-rekan permaisurinya yang keturunan Cina mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Ki Ageng Kutu memandang, kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Lalu dia meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda.
Harapannya, anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan
kerajaan Majapahit kembali. Sukur-sukur bisa melakukan perlawanan terhadap
kerajaan. Hanya saja, Ki Ageng Kutu menyadari, bahwa pasukannya terlalu kecil
melakukan perlawanan terhadap pasukan kerajaan. Maka dari itu, Ki Ageng Kutu
hanya bisa menyampaikan pesan dan sindirian melalui pertunjukan seni Reog.
Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal
menggunakan kepopuleran Reog. Seni reog digunakan oleh Ki Ageng Kutu sebagai
sarana mengumpulkan massa untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan. Hal
terpenting adalah sebagai saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada
waktu itu untuk menyindirnya. Dalam
pertunjukannya, ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai
"Singa barong". Kemudian topeng berbentuk raja hutan, yang menjadi
simbol untuk Kertabhumi. Diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga
menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya.
Jatilan, diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan
menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit. Ini menjadi perbandingan
kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang
menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu. Jathilan merupakan tarian yang
menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda.
Tokohnya disebut dengan Jathil. Sementara Warok adalah orang yang memiliki
tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Kepopuleran Reog
Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil
tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat
diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun
murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Meski begitu,
kesenian Reog sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah
menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya
memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat
Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja
Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning Namun, di tengah
perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja
Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan
Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria
berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam
mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan
Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam
keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Versi lainnya mengenai asal-usul Reog adalah cerita tentang perjalanan
Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya. Sang Prabu ditemani prajurit
berkuda dan patihnya yang setia bernama Pujangganong. Sang prabu menemukan
pujaan hatinya, ia jatuh hati kepada putri Kediri yang bernama Dewi
Sanggalangit. Putri Kediri ini mau menerima Prabu Kelana asal dengan satu
syarat, sang prabu harus bisa menciptakan sebuah kesenian baru. Diciptakanlah
kesenian tersebut yang dikenal dengan reog dengan memasukan unsur mistis yang
kekuatan spiritual, sehingga memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi
warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya
aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun
menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya
tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan
Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Namun, perubahan zaman dan perilaku manusia menyebabkan terjadinya pergeseran makna yang terkandung dalam kesenian Reog Ponorogo. Masyarakat Ponorogo saat ini mengganggap kesenian reog merupakan pelengkap dari sebuah acara atau hanya berupa sebuah hiburan saja. Misalnya pementaasan reog dilombakan pada acara-acara tertentu untuk memeriahkan acara tersebut, salah satunya perlombaan dalam festival.
Namun, perubahan zaman dan perilaku manusia menyebabkan terjadinya pergeseran makna yang terkandung dalam kesenian Reog Ponorogo. Masyarakat Ponorogo saat ini mengganggap kesenian reog merupakan pelengkap dari sebuah acara atau hanya berupa sebuah hiburan saja. Misalnya pementaasan reog dilombakan pada acara-acara tertentu untuk memeriahkan acara tersebut, salah satunya perlombaan dalam festival.
REOG PONOROGO DAN JARANAN |
2.1.2 Pementasan
Reog Ponorogo
Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian dua sampai tiga
tarian pembukaan. Enam sampai delapan pria gagah berani dengan pakaian serba
hitam dan muka dipoles warna merah membawakan tarian pertamanya. Para penari
ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Selanjutnya enam sampai delapan
gadis yang menaiki kuda melanjutkan tarian reog. Pada reog tradisionil, penari
ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki berpakaian wanita. Biasanya,
sebagai tarian pembukanya, beberapa anak kecil membawakan tarian dengan
berbagai adegan lucu. Tarian ini disebut Bujang Ganong atau Ganongan. Setelah
mereka membawakan tarian pembukaan, ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan
pernikahan maka mereka menampilkan adegan percintaan. Bila acara khitanan,
biasanya cerita pendekar.
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang, kadang-kadang dengan penonton. Terkadang bila seorang pemain yang sedang pentas kelelahan dapat digantikan oleh yang lain. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penonton. Adegan terakhir adalah singa barong. Pemain memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topengnya bisa mencapai 50-60 kg. Mereka membawa topeng tersebut dengan giginya. Kemampuan membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
2.2 Nilai-nilai
aksiologi yang terungkap dalam kesenian reog ponorogo
Bicara
tentang nilai, dalam dunia filsafat banyak pemikiran tentang nilai. Seperti,
Walter G. Everett, Frondizi, Notonagoro, dan sebagainya. Teori nilai yang dipakai
dalam penelitian disertasi adalah teori nilai dari Max Scheler yang terbagi
menjadi empat tingkatan, yaitu :
1. Nilai-nilai
kerohanian meliputi : nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai kepercayaan, dan
nilai magis.
2. Nilai-nilai
spiritual meliputi : nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni,
nilai simbolik, dan nilai superioritas.
3. Nilai-nilai
kehidupan meliputi : nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai
kesejahteraan.
4. Nilai-nilai
kesenangan meliputi : nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai
material, dan nilai pertunjukan.
Teori
nilai Max Scheler ini apabila dipakai untuk membedah kesenian reog Ponorogo,
maka akan ditemukan beberapa nilai. Pembedahan tersebut dengan metode
hermenetika dan heuristika. Nilai-nilai yang terungkap dalam kesenian reog
adalah :
1. Nilai-nilai
keruhanian, meliputi :
a) Nilai
dakwah. Nilai ini terungkap pada gamelan reog yang dipakai sebagai media dakwah
saat Bathara Katong menyebarkan Islam ke masyarakat Ponorogo yang masih
menganut Hindhu. Gamelan reog yang dahulu disebut gumbung dipakai kerajaan
Wengker untuk mengiringi dalam latihan perang. Metode Bathara Katong ini
seperti metode dakwah yang dipakai para walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa
dengan media wayang purwa.
b) Nilai
kelestarian. Nilai ini terungkap sejak upaya Bathara Katong menaklukkan Ki
Ageng Kutu dengan pendekatan kultural. Upaya kelestarian itu hingga sekarang
masih dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo sebagai upaya
kesinambungan. Upaya tersebut antara lain : buku Babad Ponorogo (jilid 1-VIII)
karangan Purwowijoyo dijadikan buku babon sejarah Ponorogo. Menyusun buku Hari
Jadi Kota Ponorogo (Bathara Katong Bapak-e Wong Ponorogo). Menyusun buku
Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa. Menyusun buku
Ponorogo dari Waktu ke Waktu. Mengadakan ritual budaya, seperti : ziarah ke
makam Bathara Katong, Grebeg Suro, festival reog nasional, dan pentas bulan purnama.
Kesenian reog Ponorogo dipatenkan : N0. 03195, tanggal 12 April 1995.
c) Nilai
kepercayaan. Nilai ini terungkap pada perlengkapan sesaji yang telah menjadi
tradisi apabila pertunjukan reog akan mulai. Tujuan sesaji adalah agar
terhindar dari gangguan orang maupun lelembut/ makhluk halus. Sesaji dilakukan
di muka barongan dan tempat dhanyang desa.
d) Nilai kesejarahan. Nilai ini terungkap pada
kesenian reog dengan asal-usul berdirinya Ponorogo menyatu dalam tokoh Bathara Katong.
Keberadaan kesenian reog dan sejarah Ponorogo tidak terlepaskan dari keberadaan
Bathara Katong. Tokoh Bathara Katong dan tokoh-tokoh reog lain (barongan,
klana, warok, dan jathil) dijadikan monumen sebagai simbol sejarah Ponorogo.
Tokoh-tokoh reog dijadikan monumen diletakkan di berbagai perempatan jalan di
kota Ponorogo.
e) Nilai magis. Nilai ini terungkap pada
pemberian unsur daya magis ke dalam kesenian reog khususnya barongan/ pembarong.
Unsur magis ini dimaksudkan untuk penambahan daya kekuatan pembarong juga untuk
memunculkan daya tarik (aura) bagi group reog.
2. Nilai-nilai
spiritual, meliputi :
a)
Nilai budaya Nilai ini
terungkap bahwa kesenian reog memuat nilai-nilai kejawaan yang adiluhung,
sebagai tontonan dan tuntunan. Kesenian reog sebagai seni-budaya tradisional
khas Ponorogo, sehingga kesenian reog menjadi representasi sekaligus sumber
nilai bagi masyarakat Ponorogo.
b) Nilai
keindahan. Nilai ini terungkap pada : gerak
tari (warok, jathil, pujangganong, dan barongan), tata busana (warna hitam,
merah, kuning, dan putih), tata rias (utamanya tata rias penari jathil dan
ganongan), aransemen gamelan reog
(gendhing kebogiro, gendhing panaragan, gendhing sampak, gendhing patrajayan,
gendhing objog).
c) Nilai
moral. Nilai ini terungkap pada : jiwa kebersamaan, pengikat kerukunan dan dapat
ngrukunake, mewujudkan kegotong-royongan, ajaran reog : ojo dumeh, ojo gumun,
ojo pangling, menghindari mo-limo (minuman keras, main wanita, senang makan,
main judi, dan mencuri).
d) Nilai seni. Nilai ini terungkap bahwa kesenian
reog sebagai hasil budaya masyarakat Ponorogo. Kesenian reog sebagai seni
panggung/ pentas yang dikembangkan melalui festival tahunan dan arak-arakan.
e) Nilai
simbolik. Nilai ini terungkap bahwa dalam kesenian reog melambangkan Klana Sewandana
melamar Dewi Sanggalangit. Dhadhak merak melambangkan sindiran Ki Ageng Kutu terhadap
raja Brawijaya V. Tokoh warok melambangkan : bersemangat, keteladanan, pemberani,
kokoh-kuat, berwibawa, siap berkorban, dan jiwa ksatria. Tokoh jathil
melambangkan prajurit siap ke medan laga. Tokoh barongan melambangkan raja
Singobarong dari kerajaan Lodaya.
f) Nilai
superioritas. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog harus memiliki warok yang
sakti, dan kepemilikan ilmu kanuragan pada warok (daya linuwih).
3. Nilai-nilai
kehidupan, meliputi :
a) nilai
kepahlawanan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki tokoh pahlawan,
seperti tokoh warok. Istilah warok oleh masyarakat Ponorogo diangap sebagai
tokoh masyarakat yang memiliki beberapa kelebihan. Kelebihannya seperti
memiliki banyak ilmu, memiliki kesaktian/ilmu kanuragan, rela berkorban,
pengayom, bekerja tanpa pamrih, dan wira’i.
b) nilai
keadilan. Nilai ini terungkap dalam hakikat yang menjadi tujuan akhir kesenian
reog. Kesenian reog (terutama waroknya) mempunyai misi kehidupan. Istilah
‘adil’ artinya tidak memihak atau berat sebelah. Penerapan keadilan dalam bermasyarakat
dan berbangsa adalah pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban manusia
menurut hakikat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu, sebagai makhluk
sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Pemenuhan hak dan kewajiban tersebut
ending-nya diharapkan memiliki keseimbangan dan keselarasan hidup baik secara lahiriah
maupun batiniah.
c) nilai
kesejahteraan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memuat aspek kesejahteraan
dengan istilah : uang jamu, bon-bonan, dan tanggapan. Nilai kesejahteraan ini
maknanya kehidupan yang tenteram, makmur, dan aman, tetapi nilai tersebut lebih
dominan pada aspek ekonomi. Orientasi aspek ekonomi dalam kesenian reog dahulu dan
sekarang berbeda. Sekarang, lebih mengarah pada nilai jual sehingga memunculkan
industri kesenian, semuanya itu demi menambah kesejahteraan ‘konco reog’.
4. Nilai-nilai
kesenangan, meliputi :
a) Nilai
hiburan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki daya tarik tersendiri
dibanding dengan kesenian lain, seperti : sorak-sorai, keasyikan,kelucuan,
mengagumkan, dan mendebarkan.
b) Nilai
kepuasan. Nilai ini terungkap pada para pemain setelah selesai pertunjukan
terasa puas apa yang diperankan. Penonton juga merasakan puas manakala setelah menyaksikan
atraksi pentas kesenian reog. Penanggap (reog obyogan) juga merasakan puas dan
senang setelah menanggap reog, karena dapat membuat senang orang banyak.
c) Nilai
kompetitif. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memuat kompetitif positif
dan negatif. Kompetitif positif manakala kesenian reog (reog pentas) dapat
dipertandingkan melalui festival tahunan tingkat nasional dan festival tahunan
reog mini. Kompetitif negatif (kompetitif tidak sehat) manakala kesenian reog
bersaing dengan menjatuhkan group lain.
d) Nilai
material. Nilai ini terungkap bahwa untuk membuat perlengkapan perangkat
kesenian reog membutuhkan berbagai material. Material tersebut meliputi
alat-alat kesenian (dhahak merak, seperangkat gamelan, dan kuda eblek), dan
pakaian pemain (pembarong, jathil, warok, ganongan, dan pengrawit).
e) Nilai
pertunjukan. Nilai ini terungkap bahwa kesenian reog memiliki dua jenis
pertunjukan, yaitu pertunjukan di panggung (reog pentas) pentas dan pertunjukan
bukan dipanggung (reog objogan).
3.1 Relevansi
nilai-nilai kesenian reog ponorogo dengan pembangunan karakter
Istilah
‘karakter’ sebagai sistem daya juang meliputi daya dorong, daya gerak, dan daya
hidup, dan berisi tata nilai kebajikan moral yang terpatri dalam diri manusia. Jenis
karakter manusia ada yang tangguh dan ada yang lemah. Manusia yang berkarakter
tangguh akan selalu menyempurnakan diri walau mengadapi tekanan. Manusia yang
berkarakter lemah cenderung pasrah (nasib) kondisi diri yang ada. Kondisi
bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat lebih memiliki karakter lemah, karena
memiliki sifat-sifat meremehkan mutu, etos kerja buruk, tidak punya malu, suka
menerobos, tidak percaya diri, dan tidak disiplin. Masalahnya sekarang,
bagaimana agar manusia-manusia Indonesia memiliki karakter tangguh. Menanggulangi
permasalahan tersebut tidaklah mudah bagi bangsa Indonesia. Di era reformasi
muncul berbagai krisis, seperti : krisis ekonomi, merebaknya korupsi,
kekerasan, pornografi, dan radikalisme, sehingga berakibat melemahnya karakter
bangsa. Penanggulangannya adalah penguatan terhadap ‘Empat Pilar’ (Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) berbangsa-bernegara, nilai kebangsaan,
dan nilai patriotisme.
Apakah
seni tradisional reog Ponorogo dapat dipakai sebagai upaya membangun karakter
bangsa. Pendalamannya, bahwa nilai kebangsaan dan nilai patriotisme dalam
kesenian reog dapat direfleksikan ke arah pembangunan karakter bangsa. Upaya
kultivasi senibudaya dalam perspektif yang lebih luas. Meningkatkan fungsi
ekspresif dan fungsi instrumental terhadap nilai-nilai kesenian reog. Hal ini
sejalan dengan keberadaan seni tradisional harus dilihat dari fungsi ekspresif
dan instrumental.
Fungsi
ekspresif menunjukkan bahwa kesenian reog dengan peran utamanya terkait dengan kedudukan
sosialnya. Fungsi instrumental menunjukkan bahwa kesenian reog dapat dijadikan
media penyampaian pesan hal-hal yang terkait dengan pembangunan nasional. Sejajalan
dengan kondisi bangsa, nilai-nilai kesenian reog dapat memberikan kontribusi
terhadap penegakan empat pilar berbangsa dan bernegara melalui nilai patriotisme
yang terungkap dalam diri warok. Penguatan ‘Empat Pilar’ terungkap dalam
kesesuaian antara nilainilai kesenian reog Ponorogo dengan nilai-nilai
Pancasila, yaitu :
a) Nilai
kepercayaan berkesesuaian dengan nilai Ketuhanan.
b) Nilai
kepribadian berkesesuaian dengan nilai Kemanusiaan.
c) Nilai
hiburan dan pertunjukan berkesesuaian dengan nilai Persatuan.
d) Nilai
sosial (rukun) berkesesuaian dengan nilai Kerakyatan.
e) Nilai
kesejarahan dan kelestarian berkesesuaian dengan nilai keadilan.
Tokoh
warok yang menjadi agul-agule wong Ponorogo (kebanggaan masyarakat Ponorogo)
dalam kesenian reog berperan sebagai tokoh sentral. Tokoh warok dianggap
sebagai manusia berkualitas menurut pemikiran masyarakat Ponorogo. Di setiap
barisan kesenian reog apabila sedang berjalan, maka tokoh warok menempati
posisi depan seperti komandan barisan perang dan terlihat menyeramkan.
Sehingga, tokoh warok harus memiliki kesaktian, ketangguhan, dan berwibawa.
Tokoh warok merupakan tokoh utama dan sentral dalam kesenian reog dan
masyarakat Ponorogo. Kaitannya dengan nilai-nilai kesenian reog apabila
direfleksikan sesuai sifat-sifat tokoh-tokoh reog (warok, klana, jathil, dan
barongan) muncul lima kebajikan esensial, yaitu :
a) Refleksi
nilai kepahlawanan upaya membangun karakter bangsa (sifat pengorbanan). Sifat
yang utama seorang pahlawan adalah bersedia mengorbankan baik jiwa dan raganya
tanpa mengharap balas jasa. Seorang pahlawan lebih mendahulukan kewajiban dari
pada menuntut apa yang menjadi haknya.
b) Refleksi
nilai kewiraan membangun karakter bangsa (sifat pemberani dan pantang
menyerah). Sifat yang utama selain pengorbanan adalah pemberani dan pantang
menyerah. Berani mengambil resiko apa yang dilakukan dan pantang menyerah dalam
meraih cita-cita perjuangannya.
c) Refleksi
nilai superioritas upaya membangun karakter bangsa (sifat daya linuwih). Sifat
yang utama selain bersemangat, rela berkorban, pemberani, dan pantang menyerah
adalah memiliki daya-linuwih. Daya-linuwih diartikan sebagai sifat yang
dimiliki seorang yang mengungguli sifat-sifat manusia kebanyakan.
d) Refleksi
nilai kepribadian upaya membangun karakter bangsa (sifat keperkasaan/ tangguh).
Sifat yang utama selain berkorban, pemberani, pantang menyerah dan memiliki
daya-linuwih adalah ketangguhan. Sifat tangguh memiliki pemahaman tangguh fisik
dan non-fisik (tangguh mental).
e) Refleksi
nilai moral upaya membangun karakter bangsa (sifat keteladanan/ perekat). Sifat
yang utama selain pemberani, pantang menyerah, memiliki daya-linuwih, dan
tangguh juga sebagai pahlawan juga dapat memberikan keteladanan terhadap
masyarakat.
Upaya
membangun karakter bangsa yang sedang melemah saat ini harus memiliki landasan
yang juga terungkap dalam nilai-nilai kesenian reog. Nilai-nilai tersebut
apabila ditranformasikan dalam diri pahlawan akan muncul spirit-spirit yang
akan menetes kepada siapa saja yang memiliki kemampuan menangkap nilai-nilai kesenian
reog. Spirit-spirit tersebut akan merefleksi (meresap) dalam diri setiap orang
sehingga mengakibatkan semangat menyala-nyala. Semangat yang menyala-nyala
terungkap dalam ujud lahir maupun batin para pemain dan tetabuhannya.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
I.
Kesenian reog Ponorogo
memiliki sejarah panjang, melegenda, dan menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo.
Sejarah panjang kesenian reog dan perkembangannya dimulai dari kerajaan Wengker
hingga sekarang. Kesenian reog dikatakan melegenda, karena kesenian reog sangat
erat kaitannya dengan tokoh legendaris Bahtara Katong sebagai Bapak-e Wong Ponorogo.
Sejarah panjang kesenian reog berhasil melewati pasang-surut perjalanan waktu mulai
kerajaan Wengker, kerajaan Bantarangin, zaman Bathara Katong, zaman penjajahan
Belanda dan Jepang, zaman setelah kemerdekaan/ orde lama, zaman orde baru, dan zaman
reformasi. Karakter senibudaya kesenian reog memiliki kesamaan karakter masyarakat
Ponorogo, sehingga dengan kesamaan karakter tersebut masyarakat Ponorogo mampu memelihara,
mempertahankan, dan melestarikannya.
II.
Cerita kesenian reog
Ponorogo memiliki beberapa versi. Pertama, Klana Sewandana raja kerajaan
Bantarangin melamar putri raja Kediri Dewi Sanggalangit. Salah satu syarat
lamaran adalah dibuatkan gamelan model baru dan manusia berkepala harimau.
Gamelan tersebut sebagai cikal bakal kesenian reog saat itu disebut gumbung.
Kedua, Ki Ageng Kutu sebagai abdi raja Brawijaya V memilih meninggalkan
Majapahit, karena Brawijaya V tidak dapat menguasai kerajaan dan lebih dikuasai
isterinya. Ki Ageng Kutu di daerah Wengker mendirikan padepokan Surukubeng melatih
para muda berlatih ilmu kanuragan dengan permainan barongan. Barongan tersebut
sebagai sindiran terhadap Raja Brawijaya V, sehingga Ki Ageng Kutu dianggap
memberontak. Brawijaya V sangat sulit menaklukkan Surukubeng, maka diutuslah
Raden Katong menaklukkannya dan berhasil. Akhirnya, Raden Katong diserahi tanah
perdikan Wengker. Ketiga, sebelum Raden Katong menguasai Wengker, Ki Ageng Kutu
menciptakan barongan yang menjadi permainan para warok. Setelah Ki Ageng Kutu
dikalahkan Raden Katong, maka Raden Katong memandang perlu melestarikan
barongan sebagai media dakwah Islam. Barongan yang dahulu dipunyai para warok
sekarang menjadi milik masyarakat Ponorogo dan diganti nama reog. Kata reog
berasal dari kata riyokun artinya khusnul khatimah. Maksudnya, perjuangan Raden
Katong dan kawan-kawannya diharapkan menjadi perjuangan yang diridhai Tuhan.
III.
Seni Reog Ponorogo
terdiri dari beberapa rangkaian dua sampai tiga tarian pembukaan. Pada tarian
pembuka dilakukan oleh 6-8 orang penari laki-laki, kemudian dilanjutkan oleh
6-8 orang penari perempuan, dan yang terahir dibawakan oleh singa barong.
Peralatan musik yang digunakan yaitu : gong, terompet, kendang, ketipung, dan
angklung.
IV.
Nilai-nilai kesenian
reog Ponorogo apabila dilihat dari konsep nilai Max Scheler, meliputi : a.
Nilai-nilai keruhanian yaitu memuat unsur-unsur batiniah seperti penjiwaan pada
setiap pemain reog (meliputi : nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai
kepercayaan, dan nilai magis). b. Nilai spiritual yaitu memuat hal-hal yang melahirkan
gairah dan getaran jiwa (meliputi : nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral,
nilai seni, nilai simbolik, dan nilai superioritas). c. Nilai kehidupan yaitu
memuat unsur-unsur lahiriah yang berkaitan dengan keperluan hidup keseharian
(meliputi : nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai kesejahteraan). d.
Nilai kesenangan yaitu memuat unsur-unsur pada pembiasan hidup positif
(meliputi : nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai material,
dan nilai pertunjukan).
V.
Kondisi bangsa saat
yang sedang dilanda berbagai masalah, seperti merebaknya korupsi, terorisme,
krisis moralitas, kekerasan, dan berbagai ideologi yang kurang sesuai dengan
Pancasila. Kondisi demikian akan melemahkan karakter bangsa, apabila dibiarkan bangsa
Indonesia akan terjerumus ke dalam bangsa tuna-budaya dan tuna moral.
Penanggulangannya, upaya menguatan nilai-nilai kebajikan esensial seperti yang
terungkap dalam siprit-spirit yang terungkap dalam kesenian reog.
VI.
Nilai kesenian reog
Ponorogo khususnya nilai warok dapat ditransformasikan dalam upaya membangun karakter
bangsa. Nilai warok tersebut adalah ketangguhan, pemberani, pantang menyerah,
dan patriotik.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/865/reog-ponorogo#photo[gallery]/1/ diakses pada
tanggal 20 mei 2015
·
Kesenian, Identitas,
Hak cipta; kasus pencurian reog ponorogo.pdf (oleh Lisa clare mapson)
·
Reog Ponorogo; Menari
diantara dominasi dan keragaman/fauzanafi,muhamad zamzam, KEPEL: 2005
·
Reog Ponorogo; untuk
perguruan tinggi/Hartono, Depdikbud:1980
Komentar
Posting Komentar